Selasa, 20 Oktober 2015

MASALAH SAMPAH (DI GUNUNG)

Budaya konsumerisme masyarakat saat ini mempunyai andil besar dalam peningkatan jenis dan kualitas sampah. Di Era Globalisasi, para pelaku usaha dan pebisnis bersaing sekeras mungkin untuk memasarkan produknya, tidak hanya itu tapi mereka memiliki strategi bisnis dengan mengemas produknya dengan kemasan yang menarik konsumen. Bervariasinya kemasan produk tersebut menimbulkan peningkatan jenis dan kualitas sampah. Sayangnya desakan menciptakan produk baru beserta kemasannya oleh para pelaku usaha tidak dibarengi dengan memikirkan sistem pengelolaan persampahannya.

Kondisi ini seharusnya memacu berbagai pihak untuk turut memikirkan solusi dari pengelolaan sampah, khususnya pemerintah yang mengatur kebijakan dan para produsen sampah.

Pengetahuan tentang pengelolaan sampah sebenarnya masih relative minim dan dipahami secara parsial.  Padahal permasalahan sampah memiliki dampak dan ruang lingkup yang sangat luas baik lokal, nasional bahkan internasional terhadap lingkungan dan tata ruang juga aspek sosial ekonomi. Sehingga diperlukan pemikiran, pengelolaan dan pengaturan kebijakan sampah yang terintegrasi.

Sampah adalah suatu bahan atau benda padat yang sudah tidak dipakai lagi oleh manusia, atau benda padat yang sudah tidak digunakan lagi dalam suatu kegiatan manusia dan dibuang. Para ahli kesehatan masyarakat Amerika membuat batasan, sampah (waste) adalah sesuatu yang tidak digunakan, tidak dipakai, tidak disenangi, atau sesuatu yang dibuang, yang berasal dari kegiatan manusia, dan tidak terjadi dengan sendirinya. Permasalahan sampah bukan hanya terjadi di lngkungan sekitar, bahkan saat ini sampah juga banyak terdapat di atas Gunung.
Akhir akhir ini banyak sekali masyarakat yang menggaumi aktifitas mendaki gunung, namun belum sepenuhnya mengerti apa itu arti “mendaki” yang sesungguhnya.
Contohnya Botol plastik dan bungkus plastik mi instan tampak berserakan di salah satu sudut tepian Danau Ranu Kumbolo, Gunung Semeru, Jawa Timur.

Sampah itu ditinggalkan begitu saja oleh para pendaki dan pengunjung gunung tertinggi di Pulau Jawa tersebut, tanpa ada yang berinisiatif membawanya ke tempat pembuangan di bagian bawah gunung.
Data Balai Besar Taman Nasional Bromo Tengger Semeru menunjukkan setiap pengunjung membuang sekitar 0,5 kilogram sampah di Gunung Semeru. Padahal, setiap hari gunung tersebut disambangi 200 hingga 500 pendaki.





Pengelolaan sampah

Berdasarkan pemantauan selama beberapa tahun terakhir, Rosek menyaksikan bagaimana kesadaran para pengunjung untuk membuang sampah di tempat yang sudah dialokasikan sangat rendah.
Dia juga menyoroti manajemen taman nasional yang ingin mengembangkan wisata dengan meningkatkan kuota pengunjung per hari, namun tidak diimbangi dengan kesiapan mengolah sampah.
“Dengan kesadaran pengunjung yang lemah ditambah sarana dan prasarana yang sangat kurang, sehingga taman nasional dan gunung-gunung kini menjadi tempat pembuangan sampah,” kata Rosek.
Terbatasnya kemampuan pengelola gunung dan taman nasional untuk menangani sampah diakui Khairunissa, humas Balai Besar Taman Nasional Bromo Tengger Semeru.
Menurutnya, pengelola Gunung Semeru hanya memiliki anggaran menyewa truk untuk mengeluarkan sampah setiap pekan. “Nggak mungkin setiap hari, kita nggak punya anggaran untuk itu.”
Gunung Semeru juga mengandalkan empat personel untuk menjaga pintu jalur pendakian Ranupani. Bila ditambah dengan tenaga upah, ada 10 orang yang berjaga di sana.

Beruntung masih ada sekelompok orang yang sadar akan masalah sampah di atas gunung. seperti halnya Trashbag Comunity yang mencanangkan program "Sapu Jagad". Mereka tidak hanya mendaki gunung tertentu, mereka juga melakukan aksi bersih bersih gunung seperti yang ada di gambar berikut.

Harusnya para pendaki baru mempunyai pengetahuan tentan tata cara mendaki yang baik agar tidak sembarangan mendaki. Perlu banyak pelatihan sebelum mendaki, sebab "Kita hanya meminjam alam ini dari anak cucu kita, maka rawatlah sebagaimana Tuhan menitipkan alam ini kepada kita".

Tidak ada komentar:

Posting Komentar